JAKARTA. rumahdijualmurahtambunbekasi.com - Pameran properti yang secara berkala diselenggarakan beberapa kali setiap tahun, selalu menyisakan kisah pengunjung yang tak dapat membeli rumah. Padahal, dalam pameran tersebut selalu ditawarkan promosi menarik. Termasuk bebas uang muka.
Meski terdapat iming-iming bebas uang muka, namun harga rumahnya sendiri dinilai banyak konsumen masih sangat tinggi. Contohnya rumah di kawasan Depok yang sudah menyentuh angka Rp 400 juta untuk ukuran terkecil 36/72 dan Rp 1 miliar untuk rumah berdimensi 69/90.
Belum lagi kalau harus membeli rumah dengan memanfaatkan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Bunganya saja saat ini masih berada pada kisaran 11 persen hingga 14 persen. Dengan penghasilan, katakanlah Rp 10 juta per bulan, konsumen harus mencicil setidaknya Rp 4 juta sebulan dengan masa tenor 15 tahun.
Timbul pertanyaan, mengapa harga rumah bisa demikian tinggi dan terus melejit setiap tahun? Apa faktor-faktor yang memengaruhinya? Apakah mekanisme pasar, di mana permintaan tinggi maka harga ikut melambung?
Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International, Ervan Adi Nugroho, membenarkan, melonjaknya harga rumah sangat ditentukan oleh mekanimse pasar. Pasokan (supply) dan permintaan (demand) memengaruhi harga jual rumah.
"Mekanisme pasar merupakan salah satu faktor utama yang mendorong harga jual rumah demikian tinggi. Semakin tinggi permintaan, kian tinggi harga jual," tutur Ervan.
Selain itu, tambah Ervan, juga dipengaruhi tingginya biaya, atau overhead yang di dalamnya terdapat komponen biaya perpajakan, perizinan, promosi, dan lain sebagainya.
Ervan mencontohkan, untuk lokasi Gading Serpong, harga rumah relatif tinggi karena biaya produksinya juga sudah tinggi. Klaster terbaru yang dikembangkan PT Paramount Enterprise International, Karelia Village, sudah berada pada kisaran Rp 900 juta hingga Rp 1,5 miliar dengan ukuran 77/60-80 meter dan 130/60-80 meter.
"Biaya produksi sekitar 70 persen dari harga jual. Salah satu komponen yang mendongkrak tingginya harga rumah adalah ketersediaan lahan mentah. Di Gading Serpong, harga tanah mentah sangat mahal. Terlebih pasokannya pun terbatas," imbuh Ervan.
Berdasarkan data DTZ Indonesia, Alam Sutera, menempati posisi termahal di luar Jakarta dengan angka Rp 16 juta-Rp 21 juta per meter persegi. Menyusul berikutnya BSD City, Rp 11 juta-Rp 16 juta per meter persegi, Bekasi Rp 8 juta-Rp 9 juta per meter persegi, dan Bogor Rp 5 juta-Rp 10 juta per meter persegi.
Intervensi pemerintah
Ervan melanjutkan, agar harga rumah bisa kompetitif, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah kota/kabupaten harus melakukan intervensi. Merekalah yang menyediakan tanah mentah dengan harga murah.
Dengan ikut andilnya pemerintah membebaskan tanah mentah yang luas dengan harga murah berikut dukungan dalam bentuk pembangunan infrastruktur utama, maka pengembang pun akan dengan senang hati membangun rumah dengan harga kompetitif.
"Jika itu tidak dilakukan oleh pemerintah, akan sulit dicapai membangun rumah dengan harga jual rumah. Bagaimana tidak? Perolehan lahannya saja sudah mahal, belum lagi biaya produksi. Di sisi lain Perumnas lahannya juga terbatas. Jadi pemerintah harus turun tangan," tandas Ervan.(kompas)